Senin, 14 Juni 2010

Tafsir Tanwirul Miqbas

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Kitab al-Qur’an yang merupakan pusat ajaran Islam telah menjadi bahan pengkajian yang tidak pernah kering. Ia selalu digali agar ditemukan berbagai mutiara dari dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan sejarah al-Qur’an, berbagai kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya tarik yang ia pancarkan dan daya tarik tersebut tidak pernah habis dan selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.

Salah satu jenis kajian yang terus berkembang seiring perjalanan waktu adalah kajian tafsir yang boleh dikatakan sama tuanya dengan usia al-Qur’an sejak ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad yang lalu. Dalam setiap kurun waktu tertentu, cabang ini telah menghasilkan pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh al-Qur’an dan menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya tersebut kelak akan menjadi salah satu alat mediasi yang paling jitu untuk mudah memahami al-Qur’an dan menjadikannya pelita dalam kehidupan ini.

Tak asing lagi, nama Abdullah bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi salah satu nama yang paling popular dalam menafsirkan wahyu Allah tersebut. Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an pun menjadi salah

satu model yang mengilhami ulama-ulama besar dalam bidang tafsir beberapa abad kemudian. Kota suci Mekkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama-ulama besar seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr[1].

BAB II

PEMBAHASA

  1. Biografi Ibnu Abbas

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdli Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi. Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Ummul Fadl Lubanah al-Kubra binti al-Harits bin Hazan al-Hilaliyah. Ibnu Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul Hijrah ke kota Madinah. Kelahiran beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy. Ibnu Abbas selalu bersama Nabi di masa kecilnya karena beliau termasuk salah satu kerabat dekat Nabi dan karena bibinya, Maimunah, adalah salah seorang istri Nabi. Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu Abbas dididik langsung oleh Rasul dan Rasul meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al-Qur’an. Ibnu Abbas sempat bersama-sama Rasul hingga Rasul wafat, pada saat itu Ibnu Abbas masih berumur 13 tahun[2].

Abdullah bin Abbas menunaikan ibadah Haji pada tahun Usman terbunuh, atas perintah Usman. Ketika terjadi perang Siffin ia berada di al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan selanjutnya menetap disana sampai Ali terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin al-Haris, sebagai penggantinya, menjadi gubernur Basrah, sedang ia sendiri pulng ke Hijaz[3].

Pada tahun 36 H. Beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi gubernur di Hijaz. Ia tidak berada di kota Madinah ketika Utsman terbunuh dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali. Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,. Namun hal itu tidak membuat kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung di dalam al-Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya.. Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota Thaif dan dimakamkan di kota yang sama[4].

  1. Kedudukan dan Keilmuannya

Ibnu Abbas dengan julukan Turjumanul Qur’an (juru tafsir al-Qur’an), Habrul Ummah ( tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufasirin (pemimpin para mufassir). Baihaqi dalam ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan:”Juru tafsir al-Qur’an yang paling baik adalah Ibnu Abbas.” Abu Nu’aim mriwayatkan keterangan dari Mujahid, “Adalah Ibnu Abbas dijuluki orang dengan Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.” Ibnu Sa’id meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id al-Ansari: Ketika Zaid bin Sabit wafat Abu Harairah berkata:”Orang paling pandai umat ini telah wafat, dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”[5] Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas. Dan tidaklah aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas kecuali ia akan mendapatkan ilmu dari jawaban Ibnu Abbas”. Hal itupun juga disebabkan oleh ketidakterlibatan beliau dalam percaturan politik dan pemerintahan, kecuali hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.

Dengan kedalaman ilmu tersebut berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat Muhammad yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al-Laits bin Sulaiman : “Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku melihat 70 orang sahabat Rasul berselisih tentang suatu urusan, akan tetapi semuanya kembali kepada pendapat Ibnu Abbas.”[6] Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi kepakaran tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang amat penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :

1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al-Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahumma ‘allimhu al hikma(اللهم علمه الحكمة) dan Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al takwil (اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويل) Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah[7].

2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi.

3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al-Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.

4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al-Qur’an.

5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al-Qur’an.

Dengan pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat Nabi, termasuk diantaranya Ibnu Abbas, “Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, manurut pendapat kalian. Lalu Umar membaca ayatnya :

Šuqtƒr& öNà2ßtnr& br& šcqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ŠÏ¯R 5>$oYôãr&ur ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# ¼çms9 $ygÏù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çŽy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×p­ƒÍhèŒ âä!$xÿyèàÊ !$ygt/$|¹r'sù Ö$|ÁôãÎ) ÏmÏù Ö$tR ôMs%uŽtIôm$$sù 3 šÏ9ºxx. ÚúÎiüt7ムª!$# ãNà6s9 ÏM»tƒFy$# öNä3ª=yès9 šcr㍩3xÿtGs? ÇËÏÏÈ

Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (q.s. al-Baqarah. 266), Mereka menjawab, “Allah Yang Mahatahu”. Umar marah seraya berkata,”Jawab, tahu atau tidak!” janganlah kalian merasa minder wahai saudaraku”, Ibnu Abbas menjawab,”Ada sedikit yang terpikir dalam pikiranku, Ayat itu Allah jadikan sebagai suatu contoh perbuatan, ‘Seseorang yang kaya lagi taa kepada Allah, ia didatangi oleh setan dan diperdaya untuk melakukan maksiat sehingga ama perbuatannya musnah.” (H.R. al-Bukhari)[8]. Kedalaman ilmu tersebut yang pada akhirnya kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul Qur’an, penafsir al-Qur’an.

  1. Perkembangan Tafsirnya

Ibnu abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an[9].

Hermeneutika, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang Dewa Yunani, Hermes, yang dianggap sebagai utusan para Dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para Dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia. Unsurnya ada tiga : a. Objek penafsiran (teks) b. Perantara atau penafsir c. Penyampaian agar bisa diterima[10].

Bagi kelompok bi al ma’tsur (penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan al-Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al-Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al-Qur’an bi al ma’tsur untuk masa selanjutnya.

Kelompok mufassir bi al ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. Keluarnya Ibnu dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian beliau dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat ( فاطر السموات ), sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana Fathortuha ( انا فطرتها ) (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : فطر[11].

Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat. Contoh keberanian lain tersebut adalah ketika Ibnu Umar meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat,

óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. al-Anbiya’.30). Dalam penafsirannya Ibnu Abbas tidak merujuk kepada al-Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi merujuk kepada pemikirannya sendiri. Beliau mengatakan bahwa langit dulu bersatu dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan hujan dan bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan keduanya dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu Umar menanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan : “Aku begitu kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah mendapatkan anugerah ilmu.[12] Dengan demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah dibangun oleh Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam.

Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas[13].

Selain jalur Ali bin Abi Thalhah, juga terdapat jalur lain yang juga dianggap sebagai jalur yang baik untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas. Jalur tersebut adalah jalur periwayatan Qais bin Atha’ bin Saib dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Abi Muhammad dari Ikrimah atau dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas. Namun jalur ini menurut Ibnu Jarir al Thabari dan Abi Hatim adalah jalur periwayatan yang hasan, dan mereka juga menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan penafsiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.

  1. Tafsir Ibnu Abbas

Pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak di pahami melalui jalur periwayatannya, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al-Qur’an, mulai dari surat al Fatihah sampai dengan surat al Naas. Kumpulan penafsiran tersebut diberi judul (تنویرالمقباس من تفسیر ابن عباس ) Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an ini dikumpulkan oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al Fairuzzabady al Syafi’I, pengarang kamus al-Muhith[14].

Menurut az Zahabi, segala sesuatu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Secara pribadi, az- Zahaby meragukan seluruh riwayat tersebut yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. menurut asy- Syafi’i, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena ada riwayat tafsir yang buka dari Ibnu Abbas[15].

Ibnu adalah sorang sahabat yang dikenal dengan sebutan Turjumanul Qur’an, karena penafsiran Ibnu Abbas berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, dalam menafsirkan al-Qur’an banyak merujuk kepada syair-syair Arab, karena pengetahuannya tentang seluk beluk bahasa Arab dan pemahamannya akan sastra Arab kuno lebih mendalam dan luas. Umar bin Khathab sendiri sangat menghormati dan mempercayai tafsir-tafsirnya[16].

Riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas sangat banyak jumlahnya dan berbeda-beda tingkat kesahihan dan keda’ifannya. Para ulama telah menulusuri riwayat-riwayat tersebut dan mengungkapkan kwalitas kesahihannya. Di antara jalan periwayatannya yang paling masyhur adalah :

  1. Melalui Mu’awiyah bin Salih, dari ‘Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas. Inilah yang paling baik dari sekian banyak jalan penerimaan tafsir Ibnu Abbas.
  2. Melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Ata’ bin as-Sa’ib, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Jalan ini juga sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
  3. Melalui Ibnu Ishaq, pengarang as-Siyar, dari Muhammad bin Muhammad maula keluarga Zaid bin Sabit, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Jalan ini cukup baik, dan sanadnya Hasan (baik).
  4. Melalui Isma’il bin Abdurrahman as-Sadi al-Kabir, dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas.
  5. Melalui Abdul Malik bin Juraij, dari Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini perlu diteliti kembali secrara seksama, karena beliau meriwayatkan setiap ayat, sahih maupun tidak.
  6. Melalui ‘Atiyah al-‘Aufi, dari Ibnu Abbas. Jalur ini tidak dapat diterima karena ‘Atiyah adalah seorang yang lemah, namun terkadang ia dinilai hasan oleh Tirmizi.
  7. Melalui Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi, dari Ibnu Salih, dari Ibnu Abbas. Ini adalah jalur paling lemah meskipun al-Kalbi terkenal dalam bidang tafsir, karena al-Kalbi ada sebagian yang mengatakan hadis-hadisnya dipalsukan[17].

  1. Metode Penafsira Ibnu Abbas

Menurut hemat penulis dari yang telah ditelaah dalam kita Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, bahwa metode tafsir yang digunakan oleh pengarang kitab ini lebih cenderung kepada tafsir bi al-Ma’tsur. Pada permulaan kitab ini yaitu surat al-Fatihah dan al-Baqarah, oleh pengarang mengnisbahkan penafsiran kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas adalah seorang sahabat Rasul, maka jelas bahwa penafsiran ini dikutib dari perkataan sahabat, atau tergolong kepada penafsiran bi al-Ma’tsur.

Tafsir bil-ma’tsur ialah salah satu jenis penafsiran yang pertama kali muncul dalam dunia tafsir. Praktik penafsiran ini adalah ayat yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain, atau dengan riwayat dari Rasulullah SAW, para Sahabat, dan juga para Tabi’in. Hadits karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan Sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar Tabi’in karena pada umumnya merekalah yang menerima dari para sahabat[18].

  1. Corak Penafsiran Abbas

Para mufassir yang menafsirkan Kitabulllah, setiap mufassir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang mufassir itu sendiri dan ilmu pengetahuannya. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut: “Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat[19].”

Dalam kitab al-Miqbas, Fairuzzabady hanya menguraikan lughawiyah teks kitab dalam setiap kalimat, malah ada yang setiap huruf dalam sauatu kalimat, tidak meneliti apa isi atau kandungan dari setiap ayat. Maka disini oleh pemakalah bisa menghasilkan dari yang telah ditelaah bahwa corak yang digunakan untuk menafsirkan kitab ini adalah Lughawi. Corak Lughawi : Munculnya diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang bahasa sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur'an di bidang ini.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Abdullah bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani melakukan ijtihad dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an melalui al-Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu Abbas juga berupaya untuk menggali makna al-Qur’an dari syair-syair Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit banyak akan memberikan inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk mengembangkan penafsiran al-Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian, pemikirannya membuka dan mengilhami berkembangnya dua macam kelompok penafsiran, yaitu penafsiran dengan tradisi (bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil ra’yi).

Berbagai buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili pemikiran tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas yang sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada kisaran ratusan saja.

Penulis,

Zalmiadi

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fairuzzabady, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, Bairut, Libanon, 1412.

Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2006.

Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004.

Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003.

Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2000.

Muhammad al Jazari, Asdul Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, Darul Kutub al Ilmiyah. Kairo.

Munzin Hitami, Menangkap Pesan-pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006.

M. Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.

Al-Jauziyah Ibn Qayyim, Belajar Mudah Ilmu al-Qur’an, Cet. I. Jakarta : Lentera, 2002.

Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Yogyakarta : September 2005.



[1] Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004, hal. 17.

[2] Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003, Jld.1, hlm. 50.

[3] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2006.

[4] Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld.1, 2000, hlm. 14.

[5] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2006.

[6] Muhammad al Jazari, Asdul Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyah. Kairo.

[7] M. Ali Ash-Shabni, Studi Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.

[8] M. Ali Ash-Shabni, Studi Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.

[9] Munzin Hitami, Menangkap Pesan-pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 34

[10] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Yogyakarta : September 2005.

[11] Al-Jauziyah Ibn Qayyim, Belajar Mudah Ilmu al-Qur’an, Cet. I. Jakarta : Lentera, 2002.

[12] Muhammada az-Zarqani, Op. Cit., hlm. 343

[13] Ibid, hlm. 344

[14] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2006.

[15] Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003.

[16] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2006.

[17] Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003.

[18] M. Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.

[19] Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld.1, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar