Senin, 14 Juni 2010

Majazul Qur'an

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab Allah yang sangat mulia yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu kepada seluruh umatnya, supaya dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan di dunia yang fana ini.

Manusia hidup tidak lepas dari serba kebutuhan, paling penting mendalamkan kebutuhan dalam hal menjalankan perintah Allah yang Maha Kuasa dan semua itu terdapat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk menemukan semua kebutuhan sesui dengan isi kandungan al-Qur’an tersebut perlu untuk mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an itu terlebih dahulu. Dari kesekian banyak ilmu yang menjelasakan isi dan kandungan al-Qur’an, maka oleh penulis disini akan mengemukakan tentang I’jazul Qur’an.

I’jazul Qur’an adalah sesuatu yang luar biasa yang hanya dimiliki oleh para Nabi-nabi tertentu, tujuannya untuk membuktikan kenabian Nabi masing-masing. Kemukjizatan yang terjadi sesuai dengan kehebohan-kehebohan yang ada pada masa-masa tertentu, yang semua itu bersifat menantang dan membuktikan sesuatu yang benar yang hanya datang dari Allah. Demikian penjelasan lebih jelas nanti dalam pembahasan, yang intinya dalam makalah ini menjelasakan tentang suatu cabang ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an yaitu I’jazul Qur’an.

BAB II

PEMBAHASA

  1. Pengertain

Pengertian I’jaz menurut Bahasa dan Istilah :

Kata I’jaz adalah isim mashdar dari ‘Ajaza-Yu’jizu-I’jazan yang mempunyai arti ‘Ketidakberdayaan atau Keluputan’ (naqid al-hazm). Kata i’jaz juga berarti terwujudnya ketidakmampuan, seperti dalam contoh: “a’jaztu zaidan“ aku mendapati Zaid tidak mampu.

Sedangkan menurut Istilah adalah, sesuatu perkara yang luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.

هي أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة يظهر على يد مدعي النبوة موافقاً لدعواه
mukjizat yang Allah berikan kepada Rasul-Nya sabagai penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan Nabi Muhammad saw dalam ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi mukjizat Nabi yang abadi, yaitu al-Quran. Dan perbuatan seseorang pengklaiman itu bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hukum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya[1].

Mu’jizat ini ada yang bersifat empiris dan ada yang bersifat a’qliah, ada empat unsur-unsur yang disebut mukjizat yang ada pada para Nabi yaitu :

1. Hal atau peristiwa yang luar biasa

Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab dan akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.

2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.

Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatannya. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai Ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi). Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.

3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian

Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj

4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani

Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya[2].

  1. Bukti Historis dan Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an

Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad saw untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam dua tahapan:

1. Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Isra ayat 88. Artinya : “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain[3].

2. Mendatangkan satu surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah ayat 23. Artinya : “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar”.

Sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Arab ternyata gagal menandingi Al-Qur'an. Ada riwayat : catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu

Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa[4].

Yang dapat mengetahui kemukjizatan dan keindahan Al-Qur’an itu hanyalah sastrawan-satrawan Arab atau orang-orang yang memahami satra Arab, tetapi karena agama Islam itu untuk semua makhluk dan Nabi Muhammad di utus sebagia Rahmatan lil-A’lamin, maka kemukjizatan Al-Qur’an pun bersifat universal dan untuk manusia seluruhnya. Oleh karena itu, kemukjizatannya itu ada yang sudah diketahui oleh orang-orang dahulu, ada yang sedang kita ketahui, dan ada yang akan diketahui oleh generasi sesudah kita. Aspek kemukjizatan itu sangat banyak jumlahnya dan terus berkembang sesuai dengan banyaknya manusia dan perkembangannya[5]. Aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an adalah :

a. I’jazul al-Bayani (bahasa)

Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika. Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.

Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas dan tidak dapat ditiru oleh para sastrawan pada waktu itu. Mereka melihat al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz mereka, tetapi ia bukan puisi dan bukan pula prosa, dan mereka tidak mampu membuat yang serupa itu. Mereka putus asa, lalu merenungkannya, kemudian merasa kagum dan menerima, lalu masuk Islam[6].

b. I’jazul al-Tashri’i (hukum)

Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun memang banyak aturan hukum dari Al-Quran yang secara 'kasat mata' terlihat tidak adil, kejam dan sebagainya, tetapi sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tidak terhingga. Diantara produk hukum Al-Quran yang menakjubkan dan penuh hikmah tersebut antara lain :

* Hukuman Hudud bagi pelaku Zina, Pencurian, dsb (QS An-Nuur 2-3)

* Hukuman Qishas bagi Pembunuhan ( QS Al-Baqoroh 178-180)

* Hukum Waris yang detil (QS An- Nisa 11-12)

* Hukum Transaksi Keuangan dan Perdagangan.(QS Al-Baqoroh 282)

* Hukum Perang & Perdamaian. (QS Al-Anfal 61).

Maka, al-Qur’an itu memang penuh dengan hukum-hukum yang sangat perlu bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan bernegara, dan bermasyarakat, bahkan ayat pertama yang diturunkan pun yaitu :

ااقراء بسم ربك الذي خلق telah menetapkan hak dan kewajiban manusia, yaitu hak belajar dan kewajiban beriman.

c. I’jazul al-I’lmi (ilmiah)

Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiah diantaranya :

1. Dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas

dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.

2. Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu

pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif.

3. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat

ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :

F Isyarat tentang Sejarah Tata Surya

Allah SWT berfirman : “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)[7].

F Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan Bunga

Allah SWT berfirman : “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22)

F Isyarat tentang Sidik Jari manusia

Allah SWT berfirman : “ Bukan demikian, Sebenarnya kami-

Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna" . (QS Al-Qiyamah 4).
Al-Qur’an mempunyai kemampuan untuk memjawab tantangan di zamam ilmu pengetahua dan teknologi. Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang memberi petunjuk tentang ilmu pengetahuan bahkan semua yang ada dimuka bumi ini..

Menurut para tokoh Ilmu Kalam, ada beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an yang mereka sebutkan yang dikutib dari prkataan para Ulama [8] :

1. Abu Ishak Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizatan Qur’an adalah dengan cara sirfah (pemalingan). Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam ialah, bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang Qur’an. padahal sebenarnya, mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa (mukjizat). Sedang sirfah menurut pandangan al-Murtada ialah, bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Qur’an agar mereka tidak mampu membuat yang seperti Qur’an. Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya itu sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan (mu’jiz) adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian Qur’an bukanlah mukjizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemukjizatan Qur’an, bukan kemukjizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.

2. Satu golongan ulama berpendapat, Qur’an itu mu’jizat dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.

3. Sebagian mereka berpandapat segi kemukjizatan Qur’an itu adalah karena ia mengandung Badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang arab, seperti fasilah dan maqta’.

4. Golongan lain berpendapat, kemukjizatan Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang, yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaanya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab.

5. Satu golongan lain berpendapat, Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam ilmu dan hikmah yang sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek kemikjizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana telah dihimpun oleh sebagian ulama, mencapai sepuluh aspek atau lebih.

  1. Kadar Kemukjizatan Qur’an

1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan Al-Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.

2. Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atas sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah : ”Maka hendakalah mereka mendatangkan kaliamat yang semisal Al-Qur’an... ”At-Tur 52:34”.

3. Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberpa ayat[9].

Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sabagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surha-surahnya. Sur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup. Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan Qur’an dari aspek manapun yan ia sukai, segi ushlubnya, segi pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya, atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang[10].

  1. Tujuan dan Fungsi Mukjizat

Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berati melemahkan sebagiaman yang telah terkamukakan di atas, namun dari segi agama, ia sama sekali untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuki membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing Nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi[11].

Pertama, bagi yang telah percaya kepada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi di tantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinan-keyakinan akan kekuasaan Allah SWT.

Kedua, Para Nabi sejak Adam a.s. hingga Isa a.s. diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat psati tidak dapt dilakukan oleh umatnya. Namun, apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka? Jika tujuan mukjizat hanya untuk meyakinkan para Nabi, maka boleh jadi umat yang dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya dalam jangkauan hukum-hukum (Allah yang berlaku) di alam. Namun ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyarakat Nabi yang bersangkutan.

  1. Dalil Kemukjizatan Al-Qur’an

Beberapa dalil tentang kemukjizatan Al-Qur’an, untuk menjelaskan hal ini, kita harus memberi paparan dalam bentuk poin-poin, yang setiap poinnya dapat dijadikan sebagai kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut[12] :

1. Al-Qur’an tersebar luas dimuka bumi ini, termasuk di jazirah Arab, dan

khususnya di kota Mekkah, yang merupakan daerah yang belum mengenal peradaban dan kebudayaan metopolis sebagaimana yang telah dihasilkan oleh berbagai masyarakat yang dianggap telah maju.

2. Al-Qur’an dibawa oleh Rasul dan juga disebarluaskan kepada seluruh penduduk

bumi ini oleh salah seorang penduduk Mekkah yang belum pernah mengucap pendidikan dan pengajaran meski hanya sedikit.

3. Sesungguhnya Al-Qur’an mampu melihat dan menceritakan kejadian yang ghaib

yang terjadi pada masa lampau, dan yang akan terjadi juga masa depan.

  1. Pembagian Jenis Mukjizat & Hikmahnya

Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:

1. Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)

Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian/mukjizat seorang Nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak terbakar dalam kobaran api yang sangat besar, mukjizat Nabi Musa yang tongkat-Nya dapat membelah lautan, dan berubah mejadi ular, mukjizat Nabi Daud dapat melunakkan besi, mukjizat Nabi dapat menyembuhkan penyakit, serta mukjizat Nabi-Nabi dari bani Israil yang lain. Dan mukjizat ini terbatas pada lokasi tempat masing-masing mereka, dan berakhir sampai ketika wafatnya masing-masing Nabi tersebut[13].

2. Mukjizat Rasional (’Aqliyah)

Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Qur’an sebagai mukjizat-

Nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bisa abadi sampai hari Qiamat.

Hikmah Pembagian Mukjizat, oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi, berkomentar mengenai hikmah pembagian mukjizat tersebut dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan makjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para Nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik. Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat intelegensi Bani-Israil. Sementara, sebab yang melatarbelakangi diberikannya mukjizat rasional atas umat Nabi Muhammad adalah keberadaan mereka yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh karena itu al-Quran adalah meukjizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bisa diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang bias diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugerahkan Allah kepadanya untuk memperkuat-dakwahnya[14].

  1. Perbedaan Mukjizat Qur’an Dengan Nabi

Ada beberapa perbedaan besar antara mukjizat Al-Qur’an dengan mukjizat para Nabi-nabi sebelumnya, antara lain :

1. Mukjizat Nabi sebelumnya bersifat fisik (hissiyah), maka habis sesuai dengan

berlalunya zaman. Generasi setelahnya tidak lagi bisa menyaksikan mukjizat tersebut. Sementara Al-Quran adalah mukjizat yang terjaga, abadi dan berkelanjutan. Karenanya hingga hari ini masih banyak temuan-temuan tentang mukjizat Al-Quran[15].

2. Mukjizat Nabi-nabi sebelumnya terfokus pada 'penakjuban pandangan.

Sementara, mukjizat Al-Quran mengarah pada 'pembukaan hati dan penundukan akal', karena itu daya pengaruhnya lama dan bertahan. Sementara mukjizat 'pandangan' kadang begitu mudah terlupakan.

3. Mukjizat Nabi sebelumnya di luar konteks isi risalah mereka dan tidak bersesuain,

karena fungsi utamanya hanya untuk menguatkan kenabian atau membuktikan bahwa mereka adalah utusan Allah SWT. Contoh : menghidupkan orang mati, tongkat menjadi ular, tidak ada hubungan langsung dengan isi kitab Taurat dan Injil. Sementara Al-Quran benar-benar mukjizat yang bersesuaian dan menguatkan isi risalah kenabian.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.

Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.

Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.

Daftar Pustaka

Al-Syuyuthi, Abd. Rahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al- Turath, 1985.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Litera Antaranusa, 2007.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

Dr. Subhi as-Shaih, Membahasa Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bairut, Libanon, Pustaka Firdaus, 2004.

Shihab M.Quraisy. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. PT Mizan Pustaka, Bandung,1997.

Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992.

Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.

Ash Shiddiqy TM Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Bulan Bintang Jakarta. 1994
Baldan Nasrudin
, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1998

Rafiqi Mustofa Shadiq, Al-I’jaz Al-Qur'an, Dar Al-Kitab. Al-Arabi, Beriut. 1990.



[1] Al-Syuyuthi, Abd. Rahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al- Turath, 1985.

[2] Ash Shiddiqy TM Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Bulan Bintang Jakarta. 1994.

[3] Baldan Nasrudin, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Pustaka pelajar, Yogyakarta. 1998.

[4] Shihab M.Quraisy, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. PT Mizan Pustaka, Bandung,1997.

[5] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

[6] Al-Syuyuthi, Abd. Rahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al- Turath, 1985.

[7] Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.

[8] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

[9] Dr. Subhi as-Shaih, Membahasa Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bairut, Libanon, Pustaka Firdaus, 2004.

[10] Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Litera Antaranusa, 2007.

[11] Dr. Subhi as-Shaih, Membahasa Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bairut, Libanon, Pustaka Firdaus, 2004.

[12] Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.

[13] Rafiqi Mustofa Shadiq, Al-I’jaz Al-Qur'an, Dar Al-Kitab. Al-Arabi, Beriut. 1990.

[14] Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Litera Antaranusa, 2007.

[15] Shihab M.Quraisy, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. PT Mizan Pustaka, Bandung,1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar