Senin, 14 Juni 2010

Defenisi Kematian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umat manusia hidup di dunia ini sangat terbatas dan tidak bertahan lama, bila dibandingkan dengan eksistensi alam semesta ini. Rata-rata kehidupan di dunia ini selama 63 tahun, sebagaimana usia Rasulullah Saw. Apabila ada orang yang dianugerahi usia lebih dari itu, maka itu merupakan bonus dari Allah Swt. Setiap manusia mesti mengalami akhir kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185;

@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3 $yJ¯RÎ)ur šcöq©ùuqè? öNà2uqã_é& tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ( `yJsù yyÌômã Ç`tã Í$¨Y9$# Ÿ@Åz÷Šé&ur sp¨Yyfø9$# ôs)sù y$sù 3 $tBur äo4quŠyÛø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇÊÑÎÈ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS al-‘Imran, 158).

Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang kematian itu? Kematian merupakan sesuatu yang tidak perlu ditakuti, karena kematian itu merupakan jalan kembali kepada Tuhan yang menciptakan kita semua. Dahulu kita berada di sisi Allah kemudian kita diturunkan atau dilahirkan di muka bumi ini menjalani kehidupan sementara, kemudian kita mengakhirinya dengan kematian, yang sebenarnya kita kembali ke sisi Allah lagi. Dengan kata lain, kita dipanggil oleh Yang Maha Kuasa agar kembali kepada-Nya. Karena itu, kita sering mengatakan kepada orang yang meninggal dunia itu "berpulang ke rahmatullah" atau kita mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji'un, yang artinya "sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada Allahlah kita kembali".

Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah al-Qur'an, orang yang mati disebut "Kembali kepada Sang Pencipta".

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi dan Hakikat Kematian

Dalam bahasa indonesia, kematian itu diartikan antara lain adalah “hilang nyawa, tidak hidup lagi, dan yang tidak pernah hidup”. Namun yang lebh populer dikalangan masyarakat kita adalah, kematian dalam arti seseorang yang tadinya hidup atau mempunyai nyawa yang ditandai dengan bisa bergerak atau setidaknya jantungnya masih berdenyut, tapi ketika semua itu diketahui sudah tidak ada lagi, dipahamilah bahwa seseorang itu telah mengalami kematian[1], sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 28.

y#øx. šcrãàÿõ3s? «!$$Î/ öNçGYà2ur $Y?ºuqøBr& öNà6»uŠômr'sù ( §NèO öNä3çGÏJム§NèO öNä3Íøtä §NèO ÏmøŠs9Î) šcqãèy_öè? ÇËÑÈ

Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?(QS. al-Baqarah. 28). Ayat ini untuk menunjukkan keberadaan dan kekuasaan-Nya. “Mengapa kamu kafir kepada Alah” artinya, mengapa kamu mengingkari keberadaan-Nya dan menyekutukan-Nya degan sesuatu, “padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu” artinya, dahulu kamu tiada, lalu Dia mengeluarkan kamu ke alam Wujud. Kemudian Allah juga menjelaskan kandungan ayat ini dalam surat al-Mu’min ayat 11,

(#qä9$s% !$uZ­/u $oY­FtBr& Èû÷ütFt^øO$# $uZtG÷uômr&ur Èû÷ütFt^øO$# $oYøùuŽtIôã$$sù $oYÎ/qçRäÎ/ ö@ygsù 4n<Î) 8lrãäz `ÏiB 9@ŠÎ6y ÇÊÊÈ

Mereka menjawab: "Ya Tuhan Kami Engkau telah mematikan Kami dua kali dan telah menghidupkan Kami dua kali (pula), lalu Kami mengakui dosa-dosa kami. Maka Adakah sesuatu jalan (bagi Kami) untuk keluar (dari neraka)?(QS. Al-Mu’min. 11).

Mengenai ayat ini, ad-Dahhak dari Ibnu Abbas mengatalan : Dulu sebelum Allah menciptakan kamu, kamu adalah tanah, dan inilah kematian. Kemudian Dia menghidupkan kamu sehingga terciptalah kamu, dan inilah kehidupan. Setelah itu Dia mematiakan kamu kembali, sehingga kamu kembali ke alam kubur, dan inilah kematian yang kedua. Selanjutnya Dia akan membangkitkan kamu pada hari kiamat kelak, dan inilah kehidupan yang kedua[2].

Kata كيف Bagaimana, berguna untuk menanyakan keadaan. Allah SWT menginginkan kata kaifa dalam ayat ini bukan untuk mengetahui sesuatu keadaan, akan tetapi meminta penjelasan suatu tindakan yang seharusnya tidak mungkin terjadi. Setelah Allah menerangkan pada ayat sebelumnya dalil tentang ciptaan-Nya berupa langit, bumi dan manusia, maka bagaimana mungkin kamu kafir kepada-Nya? Kekafiran kamu tidak mempunyai alasan dan tidak logis. Jadi tugas kata كيف di ayat ini ada dua : pertama, Littaubikh (untuk menjelekkan) contoh : bagaimana mungkin kamu mencaci ayahmu? Kedua, Litta’jjub (ungkapan kekaguman). Kedua tugas ini saling berhubungan, baik untuk menjelekkan atau menakjubkan, karena hakikatnya bertujuan satu[3].

Allah menggambarkan tentang perjalanan terciptanya manusia yang tidak dapt kita saksikan, akan tetapi kematian merupakan sesuatu yang dapat kita saksikan. Setelah manusia hidu, datang kematian sebagai lawan kehidupan. Dalam proses kematian, sesuatu yang pertama keluar dri jasad adalah ruh (ruh itu juga adalah sesuatu yang terakhir masuk ke dalam jasad). Setelah keluar ruh, jasad akan mengeras dan menjadi lumpur hitam yang berbentuk kemudian membusuk dan menjadi tanah liat kemudian menguaplah air yang ada dalam jasad tersebut hingga akhirnya menjadi debu. Beginilah kematian menjadi lawan dari gambaran kehidupan, yang sesuai dengan perjalanan hidup dan mati.[4]

Para ulama menyatakan bahwa kematian bukan hanya musnah atau lenyapnya seseorang dan tidak akan ada lagi kejadian setelah itu, tetapi kematian adalah terputus atau terpisahnya hubungan ruh dengan badan, bertukar atau berpindahnya suatu keadaan kepada keadaan yang lain, suatu tempat ke tempat yang lain, dan ia (mati) merupakan salah satu musibah yang paling besar[5]. Mati dinamakan dengan musibah, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 106.

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky­ öNä3ÏZ÷t/ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #ursŒ 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.ÎŽöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ŠÅÁB ÏNöqyJø9$# 4 $yJßgtRqÝ¡Î;øtrB .`ÏB Ï÷èt/ Ío4qn=¢Á9$# Èb$yJÅ¡ø)ãŠsù «!$$Î/ ÈbÎ) óOçGö6s?ö$# Ÿw ÎŽtIô±tR ¾ÏmÎ/ $YYyJrO öqs9ur tb%x. #sŒ 4n1öè% Ÿwur ÞOçFõ3tR noy»pky­ «!$# !$¯RÎ) #]ŒÎ) z`ÏJ©9 tûüÏJÏOFy$# ÇÊÉÏÈ

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".(QS. Al-Maidah. 106)

Kematian yang telah terjadi pada seseorang itu, sangat berpengaruh bagi kita yang masih hidup, diantaranya bisa menjadi pelajaran dan peringatan agar kita lebih tekun menjalankan perintah yang Maha Kuasa dan mengingatkan juga bagi kita bahwa kematian itu akan datang bagi setiap yang bernyawa. Mengingat kematian, tentu akan membawa kita kepada kesedihan, tapi itu merupakan salah satu amal yang bisa menghapus doso-dosa kita sebagai hamba yang masih hidup. Sebagaimana Rasul bersanda :

اكثروا من ذكر هاذم اللذات قلنا يا رسول الله وما هاذم اللذات قال الموت

“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan dunia”, Kami bertanya, “Apakah penghancur kelezatan dunia itu wahai Rasul.” Beliau menjawab, “Mati.” (HR Abu Nu’aim al-Hafizh dengan sanad dari Hadits Malik Ibn Anas dari Yahya Ibn Sa’id al-Musayyib dari Umar Ibn al-Khatthab ra)[6].

B. Kematian Dalam al-Qur’an

Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab, disamping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas, juga karena kesedihan dan ketakutan sering meliputi pembicaraannya.

Manusia sedih menghadapi kematian karena ia ingin hidup terus menerus, sebagaimana yang telah dijelasakan dala al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 96. Hal serupa seperti yang telah terjadi masa dahulu terhadap bapak kita baginda Nabi Adam as, akibat rayuan Iblis dengan menjanjikan akan kekal dan tiada habisnya bila datang ke suatu pohon. Buktinya dalam al-Qur’an surat Thaha ayat 120. Inilah gambaran sifat manusia yang lupa akan peringatanperingatan Tuhannya[7].

Melihat dan menyadari sifat manusia yang tergambar demikian, sungguh sangat banyak upaya dan nasihat yang telah disampaikan kepadanya demi mengurangi rasa kesedihan dan ketakutan dan ketakutan tersebut. Sartre, filosof Prancis kontemporer mengingatkan dua hal, yang mungkin dapat meringankan malapetaka kematian tersebut :

1. Bahwa kematian merupakan suatu resiko kehidupan, maka karenanya tidak seorang pu yang hidup kecuali dia akan mati.

2. Semakian banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, semakin ringan sentuhannya di hati meraka.

Malapetaka kematian akan menyentuh semua orang, karenanya ia seharusnya tidak menimbulkan kesedihan berlarut-larut[8].

Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian, dan ada juga karena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari apa yang akan didapati nanti. Dan ada lagi karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati, juga sebagian karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, dan lain sebagainya, sehingga semua merasa cemas dan takut terhadap mati[9].

Dalam hal ini, kalaupun kematian merenggut dari manusia sesuatu yang di khawatirkan, yang jelas tidak semua yang ada pada manusia mampu direnggutnya. Memang badannya binasa, dan dunia tempat tinggalnya, serta keluarga dan sanak saudaranya ditinggalkan. Tetapi ruhnya, masih tetap ada. Kepribadiannya sebagai manusia masih tetap utuh, dan ini jauh lebih berharga dari jasmaninya.

Di sisi lain, apa yang ditingglkannya, baik keluarga maupun kediaman dan harta benda, semua dapat diperoleh gantinya di alam sana. Dalam kontek ini, Nabi Muhammad SAW mengajarkan do’a bagi yang wafat, yaitu “Gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya”. (HR. Muslim at-Tirmidzi dan an-Nasa’i melalui Auf bin Malik)[10].

Namun demikian, disaat manusia berlarut dengan kesedihan dan ketakutan mengingat akan mati, bukan berarti Allah tidak akan mendatangkan kematian kepadanya, karena manusia (makhluk) semuanya milik Allah. Maka ketika waktu yang dijanjikan telah tiba tidak ada ragu sedikitpun bagi-Nya untuk mengutuskan malaikat-Nya, dan manusia pun tidak bisa lari dari maut itu, sebagaimana firman Allah surat al-Jumu’ah ayat 8. Ini adalah bukti bahwa kita tidak akan bisa menghindar dari kematian, bahkan oleh para ulama juga banyak dinyatakan bahwa kematian adalah kehidupan yang berpindah tempat dari dunia ini. Berikut adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang kematian Dalam al-Qur’an :

@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqyJø9$# 3 Nä.qè=ö7tRur ÎhŽ¤³9$$Î/ ÎŽösƒø:$#ur ZpuZ÷FÏù ( $uZøŠs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÌÎÈ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan (QS. al-Anbiyaa’, 35).

Kata (نفس) nafs pada umumnya di gunakan oleh al-Qur’an menunjuk manusia, bukan tumbuh-tumbuhan, binatang, atau malaikat. Karena itu banya ulama membatasi makna nafs di sini pada manusia, apa lagi sebelumnya telah di nyatakan bahwa kami tidak menjadikan bagi seorang manusia pun sebelummu kekekalan. Memang harus di akui bahwa semua makhluk hidup, pasti mengalami kematian, tetapi yang di bicarakan oleh ayat ini hanya manusia, berdasar kebiasaan penggunaan kata itu.[11]

Hakikat maut serta masa kedatangannya adalah suatu yang bersifat rahasia, walaupun semua mengakuinya sebagai kepastian yang dapat di elakkan.

Setelah manusia melihat kematian, memandang yang mati tidak lagi mampu menggerakkan badannya, membusuk, bahkan punah, maka dia sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dari orang mati yang baru saja dilihatnya penuh gerak dan rasa itu. Di sanalah manusia mencari apa dan mengapa itu, sambil mencari apakah yang terjadi pada manusayang mati itu.

Penggembaraan manusia mencari terus berlanjut sampai saat ini, tetapi hingga kni pula manusia belum menemukan jawaban yang tuntas. Apakah mati adalah terhentinya denyut jantung, atau tidak berfunsinya lagi otak manusia? belum ada kesepakatan para pakar dan ulama.

Kendati demikian, para ulama menegaskan bahwa walaupun maut berarti ketiadaan, tetapi itu bukan berarti tidak ada lagi eksistensi dan wujud manusia sesudah kematian atau ketiadaan itu. Setelah maut, masih ada hidup baru, sebagaimana hal nya sebelum kehadiran makhluk di pentas bumi ini ia pun pernah mengalami ketiadaan. “Bukankah telah datang kepada manusiasatu masa dimana dia pernah tiada?” (QS. al-insan [76]:1), yakni ia tidak berada di mana pun. Ia adalah makhluk baharu yang pernah mengalami ketiadaan.

@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqyJø9$# ( §NèO $uZøs9Î) šcqãèy_öè? ÇÎÐÈ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (QS. al-Ankabut 57).

Setelah memerintahkan berhijrah, yang tentu saja berpotensiancaman dan bahaya bagi yang melakukannya, ayat diatas menenangkan hati mareka dengan menyatakan bahwa apapun ancaman dan bahaya atau kerugian yang kamu alami akibat hijrah, hal tersebut pada hakikatnya tidak berarti bahkan walau mengakibatkan kematin. Dan hendaklah kamu mengetahui dan menyadari bahwa cepat atau lambat kamu pasti akan mati, karena tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian setelah kematian dan kebangkitan dari kubur, hanya kepada kami saja kamu di kembalikan, baik yang mukmin yang sempurna iman dan amalnya, maupun yang sekedar beriman tanpa amal shaleh, demikian juga yang kafir. Yang berhijrah karena allah akan memperoleh ganjaran yang jauh lebih baik dari apa yang di tinggalkanny, serta kelezatan dan kenikmatan yang tiada taranya, dan yang menjadikan ia melupakan segala penderitaan yang pernah di alaminya. Sedang yang menfitnah dan menyiksa kaum beriman akan memperoleh sebaliknya.[12]

Allah lalu menjelaskan sekelumit dari kenikmatan itu, sambil menekankan kepastiaannya denagan kata sesunngguhnya, apa lagi orang-orang kafir tidak mempercayainya. Sedang yang belum mantap imannya perlu di mantapkan imannya. Allah berfirman: orang-orang yang beriman tetapi belum mantap iman dan amal shalehnya, mareka akan memperoleh ganjaran yang tidak sempurna, dan orang-orang yang beriman dan percaya kepada allah dan Rasul-Nya dan membuktikan kemantapan imannya dengan mengerjakan aneka amal-amal yang shaleh secara tulus dan iklas sesungguhnya akan kami tempatkan mareka pada tempat-tempat yang sangat indah lagi nyaman di surga, yaitu di dalam rumah-rumah dan istana-istana yang tinggi, yang ,mengalir sungai-sungai di bawah bangunan dan pepohonan-nya. Mareka kekal di dalamnya serta merasa sangat puas dengan perolehannya, sehingga enggan pindah atau mencari tempat lain. Itulah sebaik-baik ganjaran yang di anugerahkan Allah dari kemurahan-nya kepada para pengamal amal-amal shaleh.yang telah bersabar melaksanakan tuntunan agama dan tabah menghadapi segala macam fitnah, bencana dan ujian seperti berpisah dengan kampung halaman, sanak keluarga dan harta benda serta mareka yang terhadap tuhan pemelihara dan pembimbing mareka, mareka selalu bertwakkal, yakni berserah diri kepada-nya dalam urusan setelah berupaya sekuat kemampuan mareka.

y7¨RÎ) ×MÍhtB Nåk¨XÎ)ur tbqçFÍh¨B ÇÌÉÈ

Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula) (QS. az-Zumar 30).

Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan perbedaan bahkan pertentangan antara penganutajaran tauhid dan penganut kepercayaan syirik, dan bahwa mareka tidak mungkin dapat bertemu, maka di sini kepada semua pihak di ingatkan bahwa pada akhirnya semua akan mati, dan ketika itu Allah akan memberi putusan menyangkut perbedan-perbedaan mareka. Ayat di atas menyatakan bahwa: sesungguhnya engkau wahai nabi muhammad pasti akan mati dan sesungguhnya mareka pun para penentangmu akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu yakni engkau bersama kaum mukminin dan mareka kaum musyrikinitu pada hari kiamat nanti akan berhadap-hadapan serta berbantah-bantahan di hadapan tuhan kamu menyangkut keyakinan masing-masing juga ketika itu Allah akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.[13]

Sementara orang berkata: “Bukankah pada hari kiamat nanti, kebenaran demikian jelas, sehingga tidak mungkin lagi terjadi perbantahan atau upaya untuk menunjukkan kebenarab satu pihak lain? Jika demikian, mengapa ayat di atas menyatakan bahwa akan terjadi batah-membatah di hadapan Allah swt? Pertanyaan ini di jawab antara lain dengan menyatakan bahwa yang di maksud dengan perbantahan ini adalah akibat perbantahan, yaitu penetapan putusan. Atau di katakan bahwa salah satu peristiwa yang terjadi pada hari kiamat adalah di nampakkannya perbantahan antara kaum mukminim dan musyrikin, akan semakin jelas bagi semua pihak kebenaran kaum beriman. Dengan demikian kegembiraan mareka semakin mantap dan semakin gamblang pula pada kesalahan kaum musyrikin, serta ini pada gilirannya menjadikn semakin besar pula kesedihan dan penyesalan mareka.

Ada juga ulama yang memahami kata kamu pada firmannya : “sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantahan” dalam arti semua kamu yang pernah berselisih, saling berbeda pendapat atau menganiaya dan yang teraniaya akanberbantah-bantahan untuk menuntut haknya msaing-masing.

ß`øtwU $tRö£s% â/ä3uZ÷t/ |NöqyJø9$# $tBur ß`øtwU tûüÏ%qç7ó¡yJÎ/ ÇÏÉÈ

Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan (QS. al-Waqi’ah 60).

Jika ayat yang lalu dipahami sebagai ditujukan kepada mareka yang pada hakikatnya mengakui Allah sebagai penciptanya, maka ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya bagaikan menyatakan bahwa: jika kamu percaya kuasa kami menciptakan kamu dari tiada, maka perhatikan dan camkanlah reproduksi manusia agar kamu mengetahui bahwa untuk menciptakan kembali makhluk serupa dengan memelai penciptaannya itu lebih mudah bagi kami. Begitu lebih kurang Ibn ‘asyur menghubungkan ayat diatas dengan ayat-ayat berikut, yang kesemuanya menguraikan makhluk berbeda-beda (manusia, tanaman, air dan api) tetapi mengarah kearah yang sama yang menciptakan sesuatu yang mujud sebelum ketiadaannya.[14]

Al-biqa’i menghubungkan ayt ini dengan ayat yang lalu dengan menyatakan bahwa sebenarnya kebangkitan hayalah perubahan dari sesuatu yang telah lapuk atau bercampur dengan tanah ke keadaan sebelumnya yakni kehidupan. Jika demikian mareka diajak untuk memperhatikan bagaimana kuasa allah mengalihkan sesuatu ke sesuatu yang lain. Yang pertama di sebut adalah tantang kejadian manusia.

Ayat 60 diatas dipahami oleh thabathaba’i sebagai uraian tentang kuasa allah mngatur segala urusan ciptaannya. Ayat itu menurutnya menjelaskan bahwa wujud manusia yang terbatas sejak awal kejadiaanya hingga akhir saat dari kehidupannya di dunia dengan segala hal yang berkaitan dengannya, kesemuannya di takdirkan yakni di atur allah, penciptannya. Kematian manusia serupa dengan kehidupannya adalah atas dasar pengaturan Allah. Bukannya kematian itu di sebabkan karena kuasa Allah terbatas sehingga dia tidak menciptakan manusian yang tidak di sentuh kematian, atau kematian itu disebabkan karena adanya sebab dan faktor-faktor di luar kuasa allah sehingga kehidupan yang di anugerahkan nya kepada manusia menjadi binasa. Kalau demikian, tenulah kuasanya tidak sempurna dan ada faktor yang mengalahkannya atau menghalangi kehendaknya. Ini adalah sesuatu yang mustahil. Bukankah kuasanya mutlak dan kehendaknya tidak terkalahkan? Alhasil ayat diatas menegaskan bahwa kematian di tetapkan Allah atas kehendaknya bukan karena ada yang mengalahkan-Nya. Kematian di tetapakn antar ,manusia secara bergiliran atau bersama-sama adalah karena kehendak dan ketetapan sang pencipta itu.

Karena (امثال) amtsal adalah bentuk jamak dari kata (مثل) matsil yakni yang serupa atu sama. Sementara ulama memahami ayat diatas dalam arti mengganti badan kamu yang tadinya kamu gunakan di dunia sebagai tempat ruh kamu, dengan badan yang lain serupa di akhirat nanti yang akan menempati ruh kamu. Ada juga yang memahaminya dalam arti menggantikan kimu dengan orang-orang yang seperti kamu, atau menggantikan orang ini mengacu kepada makna mengganti sesuatu dengan yang lain, generasi masa lalu dengan generasi masa kini, dan generasi masa kini dengan masa datang.

Firma-Nya (فى ما لا يعلمون) fima la ta’lamun / dalam keadaan yang tidak kamu ketahui, jika anda memahami pergantian yang disebut sebelumnya terjadi di dunia ini, maka penggalan ayat ini dapat berarti menciptakan manusia-manusia dalam bentuk yang tidak di ketahui misalnya menciptakannya dalam bentuk monyet atau babi. Kemudian pendapat tafsir al-jalalain. Thabathaba’i memahami ketidaktahuan itu berkaitan dengan wujud manusia di akhirat nanti, bukan di dunia ini. Al-Biqa’i memahaminya dalam arti menciptakan manusia dalam beentuk baru, karena tulisnya sebagian yang meninggal dunia diterkm oleh binatang buas, atau ikan atau burung-burung sehingga jasmani mereka tumbuh di jasmani makluk tersebut atau bisa juga badan mereka telah bercampur dengan tanah ini ditumbuhi tumbuhan, kaku dimakan oleh binatang, ataukah menjadi barang tambng emas, perak, besi dan batu.

Pengetahuan tentang penciptaan peratama mestinya mengantar kepada keyakinan tentang adanya kebangkitan setelah kematian. Ini bukan saja karena siapa yang kuaa mencipta dai ketiadaan, mka tentu kuasa pula mencipta dari sesuatu yang telah pernah ada bukan saja karena itu tetapi juga sperti tulis Tha’thabi’i karena dimaklumi dari sistem alam raya ini, bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia atau batil dalam wujud ini sehingga penciptaan pertama dalam kehidupan dunia ini pastilah ada tujuannya yang langgeng. Disisi lain, keberadaan sistem tersebut menuntut adanya hidayah dan petunjuk untuk segala sesuatu menuju kebahagiaan jenisnya. Hidayah untuk manusia menuntuk diutusnya Rasul,penetapan syari’at, pengarahan berupa perintah dan larangan serta balasan juga ganjaran atas kebaikan atau kejahatan yang tidak dapat terlaksana secara sempurna di dunia ini, tetapi di akhirat kelak, dan itulah penciptaan kedua. Demikina lebih kurang Thaba’-thaba’i.

ö@è% ¨bÎ) |NöqyJø9$# Ï%©!$# šcrÏÿs? çm÷ZÏB ¼çm¯RÎ*sù öNà6É)»n=ãB ( ¢OèO tbrŠtè? 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»yg¤±9$#ur Nä3ã¤Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÑÈ

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS. al-Jumu’ah 8).

Ayat yang lalu diakhiri dengan pernyataan bahwa: Allah maha mengetahui orang-orang zalim.ini merupakan ancaman tentang jatuhnya siksa terhadap mareka setelah kematian,seperti dikemukakan pada ayat yang lalu jugaadalah karena mareka mengetahui bahwa mareka terancam siksa. Melalui ayat diatas, Allah swt. Memerintahkan nabi muhammad saw. Agar memperingatkan mareka bahwa: katakanlah: sesungguhnya maut yang kamu berusaha lari yakni berhati-hati untuj menghindar darinya dan yang kamu enggan mendambakannya walau mengakibatkan terbuktinya kebohongan kamu, maka sesungguhnya ia akan menemui kamu, walau kamu berada didalam benteng yang berlapis, kemudian dengan mudah kamu akan dikembalikan kepada Allah Tuhan yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepada kamu menyangkut apa yang telah kamu kerjakan lalu memberi balasan dan ganjaran sesuai dengan amal-amal kamu itu.[15]

Huruf (ف) fa’/ maka yang mendahului kalimat sesungguhnya ia akan menemui kamu. Huruf itu dianggap oleh sementra ulama sebagai sisipan yang berfungsi menekankan kepastian kematian, karena sikap orang-orang Yahudi itu adalah bagaikan sikap orang yang tidak mempercayai keniscayaan kematian. Sikap serupa dilakukan juga oleh banyak orang. Dalam konteks ini sayyidina Ali ra. Berkata: “Aku tidak melihat sesuatu yang haq lagi pasti terjadi tetapi dianggap batil tidak akan terjadi, seperti halnya maut.”

Di sisi lain, kalimat sebelumnya yaitu “Sesungguhnya maut yang kamu lari darinya” bagaikan mengandung makna syarat, karena itu kata maka berfungsi menggambarkan akibat yang dihasilkan syarat tersebut.

C. Pandangan Agama Tentang Kematian

Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam keberadaan manusia, dimana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam menetapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian.Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Allah, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian. Dari al-Qur’an ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskan bermacam-macam dan bertingka-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat sampai ke tingkat tinggi yaitu kehidupan yang Mahahidup dan pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada juga kehidupan di akhirat. Yang pertama dinamai al-Qur’an Kehidupan rendah, sedangkan yang kedua Kehidupan yang sempurna. Sebagaimana dalam firman-Nya surat al-Ankabut ayat 64, dan an-Nisa’ ayat 77[16].

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan itu, adalah kematian. Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetesnya telur-telur, anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan keberadaannya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan memdapatkan kesempurnaannya kecuali meningglakan dunia ini (mati).[17]

D. Pasca Kematian

Seperti sejarah ketika Al-Husain as terbunuh, di sudut-sudut langit terlihat warna warna kemerahan. Warna merah itu menandakan bahwa langit tengah menangis. Sewaktu pasukan musuh membagi-bagikan sejenis tumbuhan berwarna kuning milik Al-Husain as, tumbuhan itu berubah menjadi abu. Dan sewaktu mereka menyembelih seekor unta yang dirampas dari kamp Al-Husain as, mereka menemukan sejenis kayu di dagingnya. Kepala suci Al-Husain as, yang berada di ujung tombak berbicara dengan membawakan ayat-ayat suci Al-Quran dan lainnya.[18]

Pada hari Al-Husain as terbunuh, langit meneteskan hujan darah sehingga semua orang pada keesokan harinya mendapati apa yang mereka miliki telah dipenuhi oleh darah. Darah itu membekas pada baju-baju mereka beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya terkoyak-koyak. Warna merah darah terlihat di langit pada hari itu. Peristiwa tersebut hanya pernah terjadi saat itu saja. Ketika kepala Al-Husain as dibawa ke istana Ubaidillah bin Ziyad, orang ramai melihat dinding-dinding mengalirkan darah segar. Di dinding sebuah gereja tertulis: “Apakah umat yang membantai Al-Husain Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.” Ketika pendeta yang berada di sana ditanya tentang tulisan tersebut dan siapakah yang menulisnya, ia menjawab, “Bait syiar ini telah tertulis di sini sejak lima ratus tahun sebelum Nabi kalian diutus.” Seorang penduduk Najran saat menggali tanah menemukan sebuah kepingan emas yang bertuliskan: “Apakah umat yang telah membantai Al-Husain Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat” Sebuah tembok merekah lalu muncullah sebuah telapak tangan yang bertuliskan: “Apakah umat yang telah membantai Al-Husain Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.” Sesaat setelah Al-Husain as terbunuh, warna langit menghitam pekat sekali. Lalu bintang-bintang bermunculan di siang hari, sampai-sampai bintang kembar terlihat di waktu sore. Segumpal tanah berwarna merah jatuh dari atas. Langit terlihat berwarna merah bagai darah selama tujuh hari tujuh malam.[19]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, dan hanyalah Dia yang berhak mengatur semuanya dalam kehidupan, termasuk dalam hal mengabil kemabali hasil ciptaan-Nya. Allah menciptakan makhluk-Nya dengan sangat sempurna bentuknya, dengan tujuan agar menyembah kepada-Nya, sampai tiba saatnya mempertanggung jawabkan semuanya ketika hidup setelah mati.

Sedangkan apa yang dijanjikan oleh Allah bukanlah sekedar janji, tapi itu juga hal yang wajib bagi kita untuk mengimaninya. Kematian tidak akan pernah uput dari kita sebagai hamba, awal dan akhir tetap akan tiba saatnya, sesuai dengan janji-Nya. Maka kita persiaplah untuk menghadapinya dengan memperbanyak amal kebaikan kepada-Nya sebagai sang Pencipta yaitu Allah SWT.

B. Kritik dan Saran

Setelah dibaca dan dipahami makalah ini, ada baiknya kalau kawan semua memberikan kritik dan saran untuk menambah wawasan dalam membuat makalah ke depan dengan lebih baik lagi, setidaknya makalah ini bisa terlihat kekurangan dan kesilapan dalam penulisannya.

Setiap orang itu pasti memiliki kekurangannya masing-masing, apalagi dalam hal membuat satu makalah, sangant perlu untuk adanya ilmu pengetahuan yang labih. Makanya disini penulis menginginkan kemajuan kedepan lewat saran-saran dari kawan-kawan.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Suhaimi, M.Ag, Fiqih Kematian, Cet. I, Ar-Raniry Press, 2007,

Shihab, M. Quraish, Perjalanan Menuju Keabadian, Cet. 2. Jakarta : Lentera Hati, 2001.

Al-Qurthubi, al-Imam, Ensiklopedi Kematian, mengingat kematian dan hari akhir Jakarta : Pustaka Azzam, 2004.

Shihab M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1994.

Al-Khatib, Abdul Karim, Qadhiyat al-Uluhiyyah, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, Kairo, 1962.

Shihab M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, PT Mizan Pustaka, 1996.

Al-Qurthubi, al-Imam, Buku Pintar Alam Akhirat, Jakarta : Darul Haq, 2004

Fakhruddin, Imam ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, Dar al-Jail, Bairut, Libanon, 1992.

Al-Maqdisy, al-Imam asy-Syaikh Ahmad, Minhajul Qashidin, Jalan orang-orang yang mendapat petunjuk, Pustaka al-Kausar, Cet. I, Jakarta : 1997.

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Mu-assasah Dar al-Hilal, Kairo, Cet. 1, 1994.

Shihab M. Quraish, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Lintera Hati, Jakarta : 2002.

Syaikh Muatawali asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, ayat-ayat Kematian, Pustaka Hidayah, Jakarta, 2009.



[1] Drs. Suhaimi, M.Ag, Fiqih Kematian, Cet. I, Ar-Raniry Press, 2007,

[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Mu-assasah Dar al-Hilal, Kairo, Cet. 1, 1994.

[3] Syaikh Muatawali asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, ayat-ayat Kematian, Pustaka Hidayah, Jakarta, 2009.

[4] Ibid,

[5] Al-Qurthubi, al-Imam, Ensiklopedi Kematian, mengingat kematian dan hari akhir Jakarta : Pustaka Azzam, 2004.

[6] Ibid, hlm, 14

[7] Shihab M. Quraish, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Lintera Hati, Jakarta : 2002.

[8] Al-Khatib, Abdul Karim, Qadhiyat al-Uluhiyyah, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, Kairo, 1962.

[9] Shihab M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, PT Mizan Pustaka, 1996.

[10] Shihab, M. Quraish, Perjalanan Menuju Keabadian, Cet. 2. Jakarta : Lentera Hati, 2001.

[11] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Mu-assasah Dar al-Hilal, Kairo, Cet. 1, 1994.

[12] Ibid,

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Shihab M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, PT Mizan Pustaka, 1996.

[17] Al-Maqdisy, al-Imam asy-Syaikh Ahmad, Minhajul Qashidin, Jalan orang-orang yang mendapat petunjuk, Pustaka al-Kausar, Cet. I, Jakarta : 1997.

[18] Fakhruddin, Imam ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, Dar al-Jail, Bairut, Libanon, 1992.

[19] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar