Senin, 14 Juni 2010

Filsuf Ibnu Maskawaih

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah

Ekspedisi militer yag dilakukan oleh Raja Iskandar Zulkarnain ( 356-326 S.M ) dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika Utara pada permulaan abad keemat sebelum Masehi merupakan suatu peristiwa sejarah yang sangat penting, tidak saja dari segi militer, tapi juga dari segi kebudayaan. Para penyerbu itu tidak hanya tertera sejumlah, tapi juga sejumlah para ilmuan dan cendekiawan turut serta. Lewat mereka inilah kebudayaan dan ilmu pengetahuan Yunani tersebar luas di daerah-daerah penaklukan, sehingga telah melahirkan suatu kebudayaan baru yang disebut kebudayaan Hellenisme, suatu kebudayaan campuran antara kebudayaan Yunani dengan kebudayaan lain yang terdapat dikawasan itu, terutama di Asia kecil. Berbagai pusat studi ilmu dan falsafahYunani telah didirikan, yang tidak hanya terbatas pada pendalaman kajian warisan bangsa tersebut, tapi juga berbagai peninggalan karya tulis dari para ilmuan dan filosofnya dialihbahaskan. Diantara pusat-pusat studi kebudayaan Yunani terpenting terdapat di Iskandariah ( Mesir ), Harran, Urfa ( Raha ), Nusaibain, Jundaisabur dan Bagdad.

BAB II

IBN MASKAWAIH

A. SEJARAH HIDUP DAN KARYA

Tidak banyak diketahui orang tentang sejarah hidup Ibn Maskawaih karna kelangkaan beritan dan riwayat yang disebut oleh para penulis sejarahnya dalam kitab-kitab rujukan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Maskawaih. Dilahirkan dikota Rey pada tahun 330 H. dan meninggal di Ashfahan pada tahun 421 H. / 1030 M.[1]

Sebelum menganut islam, Ibn Maskawaih menganut agama Majusi dan setalah menganut agama Islam, ia merupakan sarjana yang taat dan mendalam pengetahuan keislamannya. Diduga ia seorang penganut Syi’ah karna sebagian besar umurnya dihabiskan dalam mengabdi para menteri Syi’ah dalam zaman pemerintahan Bani Buwaih yang dimulai pada tahun 320 H. sampai dengan tahun 448 H.

Para menteri Bani Buaih sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan. Mereka meniru apa yang dilakukan oleh para Khalifah Abbasyiyyah pada zaman keemasannya, terutama pada masa Harun Rasyid, Al-Amin dan Al-Ma’mun. Karna itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dikawasan kekuasaan mereka, dan para penguasa sering merupakan sarjana dan sasterawan yang gemar sekali menyemarakkan istananya dan majelis diskusinya dengan sejumlah para ulama, sarjana dan sasterawan.

Demikianlah situasi dimana zaman Ibn Maskawaih menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Perhatiannya lebih besar diberikan kepada masalah ahklak, sehingga ia dikenal sebagai seorang pemikir dalam bidang ini.

Kecuali sebagai filosuf akhlak, Ibn Maskawaih juga seorang pengarang. Diantara kitab-kitabnya yang dikenal adalah :

1. Kitab Uns al-farid.

2. Tajaribu ‘I-Umam.

3. Kitab al-Fauzal-Shaghir.

4. Kitab al-Fauz al-Kabir.

5. Tahdzibu ‘I-Ahklak wa tathhiru ‘I-‘A’raq.

6. Tartibu ‘s-Sa‘adah.[2]

B. PEMIKIRAN

1. Ketuhanan

Dalam beberapa masalah pokok, pemikiran Ibn Maskawaih berjalan dengan apa yang telah digariskan sebelumnya oleh al-Farabi karna keduannyatelah menimba ilmunya dari sumber yang sama, yakni filsafah Yunani. Namun, kecenderungannya kepadaal-Kindi lebih terasa, seperti yang dikatakan oleh De Boer.

Dalam masalah ketuhanan atau metafisika, pemikiran Ibn Maskawaih sangat terbatas sekali, dan tidak memadai untuk mengetahui pendiriannya dengan lengkap. Dalam kitab al-Fauz al-Asghar, ia mengatakan bahwa dikalangan orang-orang yang pantas disebut sebagai filosof, tidak ada perbedaan pendapat dalam menetapkan adanya Allah, Pencipta alam. Tidak ada orang yan meriwayatkan adanya filosuf yang mengingkari adanya Allah.Dan seperti yang disebut oleh al-Kindi, Ibn Maskawaih menyatakan bahwa Allah itu Esa dalam segala segi,tidak ada sesuatu yang sebanding dengan-Nya. Ia telah menciptakan alam ini dari tidak ada, karna penciptaan (ibda’) hanya benar dan jika dari tidak ada.[3]

Tampaknya, Ibn Maskawaih tidak banyak perhatiannya kepada masalah ketuhanan jika dibandingkan dengan para filosof islam sebelumnya karna masalah ini tidak diperdebatkan lagi di zamannya. Jadi, situasi zaman tidak menimbulkan gairah mempermasalahkan soal-soal ketuhanan. Dari itu, perhatiannya lebih besar kepada masalah akhlak karna pada zamannya nilai-nilai akhlak sudah banyak diremehkan orang. Malah ia sendiri telah menghabiskan waktu mudanya dalam memperturutkan keinginan nafsu berahinya dengan berbagai perbuatan keji, dan pada usia tua, ia menyesal atas umur yang telah disia-siakan, lalu ia tobat dan meninggalkan perbuatan itu.[4]

2. Manusia

Pemikiran Ibn Maskawaih tentang manusiatidak banyak berbeda dengan para filosof islam sebelumya. Manusia merupaka alam kecil (micro cosmos) yang dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan apa yang ada di alam besar (macro cosmos). Pancaindera yang ada pada manusia, di samping mempunyia daya-daya yang khas, juga mempunyai indera-bersama (hiss musytarak) yang berperan sebagai pengikat sesame indera. Cirri-ciri indera bersama ini ialah dapat menerima citr-citra-indrawai secara serentak, tanpa zaman dan tanpa pembagian. Juga citra-citra itu tidak saling bercampur dan terdesak sesamanya pada undera tersebut.

Kemudian daya ini beralih ketingkat dayakhayal yang terletak di bagian depan otak. Dan daya khayal pada manusia meningkat ke daya berpikir sehingga ia dapat berhubungan denan akal aktif untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi.

Adapun tentang jiwa, Ibn Maskawaih berpendapat bahwa jiwa itu adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Dan jiwa itu akan menerima balasan di akhirat nanti. Dalam hal ini, Ib Maskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat hanya dialami oleh jiwa saja, sepertiyang disebut oleh Ibn Sina sesudahnya. Kelezatan jasmani – kata Ibn Maskawaih – bukan kelezatan hakiki, demikian pula kesengsaraan.

3. Kenabian

Seperti halnya al-Farabi, Ibn Maskawaih manafsirkan nubuah (kenabian) secara akali, sehingga dapat memperkecil perbedaan nabi dengan filosof dan memperkuat hubungan wahyu dengan akal.

Semua manusia perlu kepada nubuah karena sumber ajaran yang diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan yang terpuji dalam kehidupan praktis hanya terdapat dalam agama. Nabi adalah pembawa ajaran itu yang berasal dari Allah kepada ummat manusia.

Nabi – kata Ibn Maskawaih – adalah seorang insan yang berkat pengaruh aktif (‘aql fa’ ‘al) terhadap daya inderawai dan khayal telah memperoleh hakikat-hakikat yang juga telah diperoleh oleh para filosof. Perbedaannya terletak pada cara menerima hakikat tersebut. Pada filosof, hakikat itu diterima dari bawqah ke atas : dari daya inderawi ke daya khayal lalau ke daya berpikir yang dapat berhubungan dengan akal aktif sebagai sumber segala hakikat. Sedangkan pada nabi dimulai dari akal aktif turun langsung kepadanya . Jadi, sumber kebenaran adalah satu, yakni akal aktif. Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh al-Farabi sebelumnya.

Demikianlah pemikiran Ibn Maskawaih tentang hubungan agama dengan falsafah yang jelas menunjukkan persamaan dengan apa yang telah digariskan oleh al-Farabi sebelumnya dan yang merupakan kecenderungan kebanyakan para filosof islam sebagai akibat dari kekagumannya terhadap falsafah Yunani di satu pihak dan ajaran islam di pihak lain.

4. Akhlak

Pemikiran Ibn Maskawaih terhadap seluruhnya dalam kitab tahdzibu ‘I-Akhlak. Dalam masalah ini ia termasuk,seorag pemikir islam yang terkenal. Dala setiap pembahasan akhlak dalam islam, pemikirannya selalu diperhatikan orang. Hal ini karna pengalaman hidupnya sendiri, yang pada waktu usia muda sering dihabiskan pada perbuatan-perbuatan yang sia-sia, telah menjadi dorongan kuat baginya untuk menulis kitab tentang akhlak sebagai tuntunan bagi generasi sesudahnya. Kitab tersebut merupakan uraian suatu mazhab dalam akhlak yang baqhan-bahannya ada yang berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hokum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamannya. Tujuannya untuk memberi bimbingan bagi generasi muda dan menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada nila-nilai akhlak yang luhur serta manghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak sesat dan umur mereka tidak disia-siakan seperti yang telah dialaminya. Dari itu, mazhab akhlak Ibn Maskawaih merupakan paduan antara kajian teoritis dan tuntunan praktis.

a. Pengetian dan Hakikat Akhlak

Dalam kosepsi Ibn Maskawaih, akhlak adalah “suatu sikap mental (halun li’n-nafs) yang mendorongnya untuk berbuat, tanpa piker dan pertimbangan”. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi dua : ada yang berasal dari watak (teperamen) dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain tingkah laku manusia mengandung dua unsur : unsur watak naluri dan unsur usaha lewat kebiasaan dan latihan.

Untuk mengetahui dasar-dasar akhlak, Ibn Maskawaih memberi beberapa prinsip, yaitu :

v Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan perbuatan. Yakni kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.

v Kelezatan inderawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia, kelezatan akalai adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya.

v Anak-anak harus dididik berdasarkan akhlak yang mulia, disesuaikan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah dan akhirnya jiwa berpikir.

b. Sifat-sifat dan keutamaan

Sifat-sifat keutamaan sangat berkaitan dengan jiwa.

Setiap manusia mempunyai satu jiwa dalam dirinya seperti yang disebut oleh Aristoteles sebelumnya. Jiwa ini memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya marah dan daya keinginan. Sifat-sifat keutamaan dan kerendahan terletak berhadapan dengan daya-daya tersebut. Sifat hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berpikir, dan ia lahir dari ilmu; marah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan, dan ia lahir dari ‘iffah (memelihara kehormatan diri) dan berani adalah sifat utama dari jiwa marah, dan ia lahir dari hilm (menahan diri).

c. Kebahagiaan

Sebelum Ibn Maskawaih menjelaskan arti kebahagiaan, ia mengemukakan lebih dahulu pendapat para hukama Yunanitentang kebahagiaan. Di antara mereka terutama Plato, mengatakan bahwa kebahagiaan itu khusus dialami oleh jiwa atau rohani semata, tidak oleh jasmani. Selanjutnya manusia masih hidup, atau rohaninya masih berkait dengan badan, manusia tidak akan memperoleh bahagia.dan baru kebahagiaan itu dialami setelah manusia mengalami kematian, dimana jiwa telah terlapas dari pengaruh badanyang selalu mengambatnya mencari hikmah. Golongan lain terutama Aristoteles mengatakan bahwa manusia dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia ini, yakni dalam hal jiwa masih terkait dengan badan. Dan kebahagiaan itu berbeda di antara manusia. Orang miskin memandang kebahagiaannya pada kekayaan, orang sakit pada kesehatan, orang mulia pada pemberian bantuan kepada yang berhak dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, makalah ini telah penulis selesaikan dengan semampunya, dan dimana nantinya teredpat kesalah-kesalahan baik berupa bentuk maupun isinya, penulis memohon maaf karna penulis masih dalam belajar dan pemahaman tentang filsafat masih terbatas.

Penulis dapat menyimpulkam isi dari makalah ini, bahwa setiap segala sesuatu peroleh ataupun yang kita hadapi, itu semua terdapat keistimewaannya masing-masing, bukan hanya semata-mata mempunyai atau mengalami. Namun demikian, kita kita tidak bisa tau juga dimana keistimewaan itu. Tapi Allahlah yang menentukan semuanya sesuai dengan kehendak-Nya.

B. Saran

Dalam kesempatan yang seperti inilah seseorang bisa dengan mudah untuk mengoreksi diri masing-masing. Maka dalam hal ini, penulis akan mengucapkan terima kasih dan penghormatan juga bagi kawan-kawan semua, bila nantiya bisa memberikan saran dan kritikan-kritikan yang tepat, sehingga untuk kedepan penulis bisa menyusunnya dengan lebih sempurna lagi. Amin…

DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad. Segi-segi pemikiran filsafi dalam islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1948) ; Allah dan manusia dalam konsepsi Nuruddin ar-Raniry (Jakarta : Rajawali, 1983).

Amin, Ahmad. Dhuha ‘I-Islam (Kairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1956); Zhuhru ‘I-Islam (Kairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1957);

Mahmud, Abdul Halim. Falsafah Ibn Thufail wa Risalah Hayy Ibn Yaqadzan (Kairo : Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah);



[1] Dr AHMAD DAUDI, Falsafah al-Akhlak fi’I-Islam (Kairo, 1945), hal.71.

[2] Dr AHMAD DAUDI, Tarikh al-Fikr al-‘Arabiy (Bairut, 1962), hal. 234-244; M.M. Syarif, (editor), Histori of Islamic Philosophy (Wiesbaden, 1963), hal. 469.

[3] Dr AHMAD DAUDI, Al-Fauz al-Asghar (Bairut, 1319), hal. 12,32.

[4] Dr AHMAD DAUDI Ma’alim al-Fikir al-A’rabiy (Bairut : Dar al-Malayin , 1961), hal. 273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar