Senin, 14 Juni 2010

Nasakh Mansukh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu. Dalam kerangka itu, untuk menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu al-Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al- Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.

Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktub dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak. Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika melewati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i). Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun conten dari makalah. Dengan demikian kita akan memperoleh pemahaman yang holistik terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh dan Mansukh

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Misalnya نسخت الشمس الظل artinya, Cahaya matahari menghilangkan bayang-bayang. Atau نقل الشيئ الى موضع. yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada al-Qur’an yaitu :

#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZtƒ Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ

"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jasiyah 29). Maksudnya, kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke lembaran catatan amal[1].

Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain adalah[2]:

1. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya. Contoh (QS. al-Mujadalah, 12)

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãLäêøyf»tR tAqߧ9$# (#qãBÏds)sù tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU Zps%y|¹ 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ö/ä3©9 ãygôÛr&ur 4 bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊËÈ

yang di Nasakh oleh ayat (13) tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.

÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øŒÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ

2. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat-yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.

Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh (QS. Al-Nisa : 11)

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎSs-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9`ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ)ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&urŸw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x.$¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ

Menasakh (QS. Al-Baqarah: 180) tentang wasiat.

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$#Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ

Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. ”Artinya :” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.[3]

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain[4]:

a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)

b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59

c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.

d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan

B. Cara Mengetahui Nasakh dalam al-Qur’an

Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini para ulama memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut[5] :

a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.

Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الا فزوروها . Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.

b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijma ulama yang menetapkan hal tersebut.

c. Diketahui dari salah satu dalil Nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

C. Ruang Lingkup Nasakh

Diri uraian di atas diketahui bahwa nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus pada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-poko ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at Ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adalah sama. Allah berfrman :

* tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur$uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs?ÏmŠÏù 4 uŽã9x. n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tBâä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ムÇÊÌÈ

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada agama-Nya orang yang kembali kepada-Nya, (QS. asy-Syuraa 13)[6].

Sejalan dengan ini, Imam Thabari mempertegaskan lingkup nasakh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan pada khabar (berita semata) tidak terjadi nasakh. Unkapan ini cukup penting diperhatikan karena soal nasakh adalah semata-mata hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang dan peraturan, kedudukan dan kawasan nasakh[7]. Dengan demikian, dengan udah kita dapat mengenal beberapa persyaratannya yaitu :

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dala formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu beraku untuk seterusnya atau selama-lamanya.

2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik atau kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.

3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasakh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasakh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan hukum yang sudah ada sebelumnya.

4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi

D. Pembagian atau Jenis Nasakh

Para ulama membagi Al-Nasakh menjadi 4 bagian :

1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana
yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13[8].

2. Nasakh Qur’an dengan Sunah. Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :

ü Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab al-Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qath’i, sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni (dugaan), Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan.

ü Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir. Jumhur ulama Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT, yang terdapat dalam QS. Al-Najm, 3-4. Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan al-Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106[9].

3. Sunah dengan Qur’an. Bagi Jumhur ulama Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم)
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah, 185

ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ

Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas al-Qur’an[10].

4. Nasakh Sunah dengan Sunah. Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :

ü Mutawatir dengan Mutawatir

ü Ahad dengan Ahad

ü Ahad dengan Mutawatir

ü Mutawatir dengan Ahad

Bagi Jumhur ulama’ dari keempat Nasakh tersebut tidak menjadi masalah, tapi menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.

E. Bentuk Nasakh dalam al-Qur’an

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain. Maka bentuk Nasakh dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :

1. Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya. Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa[11]:

كان فيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات فتوفي رسول الله صلي الله عليه وسلم وهن مما يقراء من القران

Menurut Qadi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi ulama berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan khabar Ahad, sedangkan sesuatu sebagai al-Qur’an harus dengan dalil Qath’i atau khabar Muatawatir[12].

2. Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap. Contoh Nasakh ini adalah ayat tentang ‘iddah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240,

tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î)ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ

Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234,

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû£`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ

Artinya : “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

3. Ketiga Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar bin Khathab dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :

الشيخ والشيخة اذا زنيا فرجموهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم

Artinya : “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti (dihukum lempar batu sampai mati) sebagai siksaan dari Allah.” Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafadhnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya (Rajam bagi orang tu ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ulama jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad[13].

F. Hikmah Adanya Nasakh

Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi 2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis penggati hukumnya[14]. Hikmah-hikmah tersebut adalah :

a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :

1. Membuktikan bahwa syariat agama Islam adalah syari’at yang sempurna.

2. Memelihara kepentingan hamba.

3. Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti.

4. Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat manusia.

5. Kemudahan dan kebaikan bagi umat.

b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:

1. Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

2. Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis yang di Nasakh menghadap Ka’bah.

3. Nasakh dengan Badal Astqal, hikmanya adalah untuk menambah kebaikan dan pahala umat.

4. Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk dispensasi bagi umat manusia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hukum yang telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan atau yang di ganti.

2. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang telah di tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :

a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat

b. Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh

c. Diketahui dari salah satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.

3. Jenis Nasakh terdiri atas :

a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an

b. Nasakh al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an dengan Hadis Mutawatir

c. Nasakh Sunah dengan Qur’an d. Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
4.
Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dalam al-Qur’an adalah terdiri atas :

a. Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus

b. Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap

c. Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap

Daftar Pustaka

Al-Syuyuthi, Abd. Rahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al- Turath, 1985.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Litera Antaranusa, 2007.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

Dr. Subhi as-Shaih, Membahasa Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bairut, Libanon, Pustaka Firdaus, 2004.

Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, An-Nasakh wa al-Mansukh min al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub, 1992.

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Belajar Mudah Ulum al-Qur’an, Cet. 1, Jakarta : Lentera, 2002.

Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992.

Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.



[1] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

[2] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007

[3] Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath, 1985

[4] Ibid,

[5] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007

[6] Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992

[7] Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Belajar Mudah Ulum al-Qur’an, Cet. 1, Jakarta : Lentera, 2002

[8] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

[9] Ibid,

[10] Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, an-Nasakh wa al-Mansukh min al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub, 1992

[11] Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath, 1985

[12] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet. 8, Bogor, Pustaka Lintera Antar Nusa, 2004.

[13] Ibid,

[14] Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.